Katakan Dengan Buku
Katakan dengan buku kepada Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. (FOTO-FOTO : Dok. Maspril Aries)
Probuana.com – Ada satu ungkapan yang sudah sejak lama populer di tengah masyarakat, yaitu “Katakan dengan bunga.” Pernah mendengar orang mengucapkan “Katakan dengan buku?” Ungkapan ini memang kalah populer dengan ungkapan “Katakan dengan bunga” sama dengan tidak populer dan masih rendahnya nya minat baca di negeri ini.
“Katakan dengan buku,” ungkapan ini pertama kali terbaca sekitar 15 tahun silam. Waktu itu Andi Mappetahang Fatwa yang dikenal dengan sebutan AM Fatwa menulis sebuah opini di sebuah harian nasional yang terbit 6 Februari 2006 judulnya “Katakan dengan Buku.” Kemudian di wilayah Timur Indonesia ungkapan tersebut diwujudkan dalam sebuah gerakan literasi yang juga bernama Gerakan Katakan dengan Buku.
Di tengah rendahnya minat dan juga menulis buku “Katakan dengan buku” selain menjadi gerakan bersama juga bisa diterapkan oleh masing-masing kita dengan membiasakan membagikan buku atau menjadikan buku sebagai buah tangan atau cendera mata pada lingkungan komunitas atau masyarakat. Bagi seorang penulis, buku juga bisa menjadi pengganti kartu nama saat berkenalan dengan seseorang. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca
“Katakan dengan buku” sekaligus menjadi pertanda bahwa buku cetak dengan material kertas masih bertahan di tengah produksi buku digital dan media sosial yang kian berkembang. Buku cetak akan memberikan sensasi dan pengalaman berbeda dengan buku digital atau e-book. Ada pengalaman menarik bagi pembaca buku cetak karena bisa disentuh, halaman dibolak-balik sesuai dengan selera, dan dinilai lebih nyaman dibaca.
Saskia Hofmann, peneliti dari penerbit Literareon di Muenchen, Jerman, mengatakan, “Banyak pembaca yang terus ingin merasakan pengalaman membaca buku cetak, seperti menyentuh, memegang, atau membolak-balik halaman. Ini membuat masyarakat masih memerlukan buku cetak.”
Yunhyung Cho, pemimpin editor Youlhwadang Publishers dari Korea Selatan mengatakan, “Kertas itu lebih manusiawi karena bisa dipegang, dirasakan kehadirannya.”
“Katakan dengan buku” menjadi tagline yang pas saat pada 23 April dunia merayakan hari buku atau World Book and Copyright Day. Tanggal 23 April ditetapkan UNESCO sebagai penghormatan terhadap penulis-penulis dunia, salah satunya William Shakespeare yang paling dikenal berkat karyanya nan abadi, Romeo Juliet. Shakespeare meninggal pada 23 April 1616, bersamaan dengan penulis asal Spanyol, Inca Garcilaso de la Vega pada hari yang sama. Penulis asal Spanyol lain, Miguel de Cervantes meninggal sehari sebelumnya, 22 April 1616.
World Book and Copyright Day ditetapkan di Paris 1995 bersamaan saat badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan dan kebudayaan ini menggelar konferensi pertama soal buku dan hak cipta.
Pada sisi lain “katakan dengan buku” bisa mendorong minat baca dan menulis sehingga posisi Indonesia bisa menjadi lebih baik di dunia literasi. Perkembangan budaya literasi di Indonesia, berdasarkan survei sejumlah lembaga di dunia menampilkan fakta tentang rendahnya budaya literasi di Indonesia.
Programme for International Student Assessment (PISA) dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan, tahun 2012 budaya literasi di Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negera yang disurvei.
Tahun 2000 Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 41 negara yang berpartisipasi dalam penilaian PISA. Tahun 2003 Indonesia kembali berpartisipasi dalam penilaian yang dilakukan oleh PISA dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan tahun 2000 yaitu peringkat Indonesia tetap berada di bawah.
Kemudian laporan PISA tahun 2018 Indonesia berada pada posisi 74 dari 79 negara yang berpartisipasi dalam penilaian yang dilakukan oleh PISA. Pada penelitian yang sama, untuk kategori minta baca, Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara.
PISA adalah program untuk mengukur prestasi bagi anak usia 15 tahun pada bidang kemampuan matematika, sains dan literasi membaca. Penilaian yang dilakukan oleh PISA setiap tiga tahun sekali dengan fokus pada pendidikan suatu negara.
Berdasarkan laporan berjudul “Skills Matter” yang dirilis OECD pada tahun 2016, berdasarkan tes PIAAC, tingkat literasi orang dewasa Indonesia masih berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini. OECD menetap lima level literasi ˂1 dan level 1 – 5 dan mayoritas masyarakat Indonesia berada pada level ˂1. Kemudian sejumlah 5,4 persen orang dewasa di Jakarta berada di level 3 dan hanya 1 persen orang dewasa di Jakarta yang mencapai tingkat kemahiran tertinggi dalam literasi, yakni level 5.
Data dari UNESCO menyebutkan posisi membaca Indonesia 0.001 persen—artinya dari 1.000 orang, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca. UNESCO menempatkan posisi Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dalam hal literasi. Indonesia berada pada peringkat 60, di atas Bostnawa (61) dan di bawah Thailand (59).
Kondisi yang belum beranjak membaik tersebut jelas memprihatinkan. Padahal perkembangan ilmu dan budaya dimulai literasi atau membaca. Salah satu penyebab rendahnya literasi di Indonesia antara lain dikarenakan oleh masyarakat yang kurang sadar akan manfaat literasi. Bahkan sejumlah orang masih belum mengerti makna literasi.
Di negeri ini, banyak orang lebih terbiasa mendengar dan berbicara dari pada berliterasi. Lihat saja di sekeliling kita, demikian banyak orang berbicara satu sama lain, menonton televisi atau hiburan lainnya, tetapi sangat sedikit yang terbiasa menyisihkan waktunya untuk membaca dan menulis. Rendahnya literasi berkorelasi dengan kemajuan bangsa. Literasi rendah bisa berkontribusi pada rendahnya produktivitas bangsa.
Hal ini harus disadari bersama karena budaya membaca ternyata tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca yang paling efektif harus dibangun perlahan dan terus menerus tanpa henti.
Berdasarkan data yang lain terjadi ketimpangan tingkat literasi membaca dengan keaktifan bermedia sosial. Dari laporan HootSuite dan We Are Social dengan tajuk “Digital 2021,” pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa.
Jumlah ini meningkat sekitar 15,5 persen atau sekitar 27 juta jiwa dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri sekitar 274,9 juta jiwa. Berarti pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 73,7 persen pada awal 2021.
Dari jumlah itu hampir separuh dari penduduk Indonesia sudah aktif dalam menggunakan media sosial (medsos). Dalam laporan tersebut menyebutkan, dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta atau sekitar 61,8 persen di antaranya telah menggunakan media sosial. Potret itu menunjukkan bukti ketimpangan tersebut yang menjadi salah alasan mengapa banyak masyarakat masih mudah termakan hoaks. Pengguna medsos menyebarkan berita bohong hingga ujaran kebencian. Masyarakat pun menjadi mudah terprovokasi oleh informasi yang disajikan.
Berdasarkan laporan tahunan Hootsuite dan We Are Social, “Digital 2019” menyebutkan tentang perilaku online orang Indonesia yang memiliki jaringan internet menghabiskan sepertiga harinya di dunia maya, yakni 8 jam 35 menit. Angka ini jauh di atas rata-rata dunia 6,5 jam per hari, atau Jepang yang berada di posisi terakhir 3 jam 45 menit.
Dengan kondisi tersebut apa yang akan dilakukan untuk mengatasi rendahnya minat dan kemampuan membaca?
Mengutip Ketua Umum IKAPI Arys Hilman, bangsa Indonesia memiliki modal besar literasi baca ini karena lebih dari 98 persen penduduknya telah melek huruf. Sayangnya, kemajuan dalam kemampuan membaca tidak lantas mendorong masyarakat memiliki budaya baca.
Ada faktor lain yang memengaruhi, yaitu ketersediaan bahan bacaan dan pembinaan kebiasaan membaca. Dorongan dari dalam individu diwujudkan dengan rasa ingin tahu siswa yang membangkitkan minat baca siswa dalam membaca. Motif sosial diwujudkan dengan aktivitas yang di dukung oleh lingkungan sekitar siswa. Emosional diwujudkan dengan perasaan siswa ketika membaca.
Menurut Sri Wahyuni dalam “Menumbuhkembangkan Minat Baca Menuju Masyarakat Literat” (2009), menumbuhkan minat baca dapat dilakukan dengan, membiasakan anak membaca sejak dini, menyediakan buku yang menarik, menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan membaca, memperbaiki kembali penampilan perpustakaan agar menarik, mengembangkan model pembelajaran membaca yang menyenangkan, bervariasi, dan mendidik.
Sembako Buku
Menyediakan buku yang menarik dapat dilakukan dengan “Katakan dengan Buku.” Caranya datangi toko buku atau penerbit buku, beli buku dari sana. Tidak dapat datang ke toko buku bisa beli secara online. Lalu buku-buku tersebut dikemas menjadi sembako buku, berikan kepada siapa yang membutuhkannya, perpustakaan, taman bacaan, rumah baca atau pojok baca dan penggerak literasi untuk mendorong meningkatkan minat baca.
Katakan dengan buku bisa menjadi jawaban dari ketimpangan rasio antara buku dan jumlah penduduk. Menurut Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, persoalan utama literasi di Indonesia adalah ketimpangan rasio antara buku dengan jumlah penduduk yang jauh dari kata ideal.
Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian, rasio buku dengan jumlah penduduk Indonesia masih 1:90. Berarti satu buku di Indonesia ditunggu oleh 90 orang lainnya. Ada 90 orang yang antri untuk membaca satu buku. Idealnya berdasarkan standar dari UNESCO, Indonesia memerlukan tiga buku untuk setiap orang per tahunnya.
Upaya meningkatkan minat baca adalah tanggungjawab bersama, pemerintah harus berkolaborasi dengan semua stakeholder yang peduli dengan literasi. Pengembangan budaya literasi di masyarakat ke depan akan menjadi kunci pembangunan sumber daya manusia. Minat baca masyarakat yang tinggi dapat meningkatkan pemahaman dan daya nalar dalam mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif.
Buku adalah kunci dalam pembentukan dan penyebaran ilmu. Buku menjadi nadi dalam sistem pendidikan membentuk budaya bangsa. Buku berperan mengembangkan kebudayaan dan membangun bangsa.
Selamat Hari Buku Sedunia. World Book and Copyright Day. Buku memajukan peradaban. (maspril aries)