KESALAHAN YANG SEMPURNA
oleh: Ach Dhofir Zuhry (Ketua STF AL-FARABI Malang)
Manusia adalah tempat bagi terus bergulirnya kesalahan dan kealpaan. Hilir-mudik kebahagian, silih-bergantinya penderitaan, tidak menentunya temperatur hati menyikapi cobaan, patah tumbuh hilang bergantinya peristiwa dan makna, semua akan membentuk kepribadian manusia. Bahkan, kalau kita mau jujur, sejatinya kesalahan lebih sering memberi “pelajaran” bagi proses pendewasaan diri.
Saya kadang bertanya, makhluk macam apakah kesalahan itu, sampai-sampai setiap orang harus belajar kepadanya. Punya nubuwat apakah kesalahan itu, sehingga para Nabi pun mengambil pelajaran darinya. Balakangan, para ahli dan pakar juga latah mengajak kita semua berguru pada kesalahan. Tak pelak, kesalahan terus menyejarah menjadi denyut peradaban umat manusia.
Tetapi, tahukah Anda bahwa dari sekian banyak kesalahan yang pernah manusia lakukan terdapat kesalahan yang sempurna? Apa itu?
Ya, satu-satunya kesalahan yang sempurna adalah kesalahan yang kita tidak memetik pelajaran darinya. Kesalahan macam ini adalah kesalahan yang seharusnya tidak kita kehendaki. Kealpaan jenis inilah yang kerap mendatangi manusia dalam bentuk fanatisme, egoisme, dan absolitisme atau pemutlakan pendapat, baik dalam kita bekerja, bernegara dan khususnya beragama.
Nah, di bawah level kesalahan sempurna, ada kesalahan yang nyaris sempurna. Apa itu?
Ia tak lain reaksi-reaksi kita sendiri dalam menyikapi kesalahan. Kok bisa? Ya, sikap kebanyakan kita yang biasanya menisbatkan kegagalan, bukan kepada diri kita sendiri, entah itu kecerobohan atau kurangnya persiapan, tetapi malah menghubungkan kesalahan, kegagalan dan atau kemungkinan gagal pada situasi-kondisi yang tidak sanggup kita rubah, dengan alibi, “ini di luar kendali saya!”. Tak jarang, kita buru-buru meyakini bahwa tidak ada opsi perbaikan terhadap satu kesalahan, sebelum kita mengujinya dengan berbagai cara dan pendekatan.
Ketahuilah bahwa keyakinan jahiliyah ini, tak pernah datang sendirian. Pikiran negatif pasti disusul oleh keyakinan-keyakinan lain yang kontra produktif. Mindset ini jelas akan menghambat sukses seseorang, karena jangankan kepada orang lain, kepada diri sendiri saja tidak percaya. Inilah lingkaran setan dari sikap buruk dalam menghadapi kesalahan. Bukankah kita sering menggenarralisir masalah? Bukankah tak jarang kita menyalahkan situasi dan bahkan orang lain, semata untuk menutupi kekhilafan kita? Sampai kapan pesimisme murahan dan ngeles-isme kampungan akan terus kita bela demi ego kekanak-kanakan?
Meragukan kemampuan diri, mundur sebelum berperang, takut gagal dan takut yang tak beralasan lainnya justru akan menyebabkan siapapun saja akan tergelincir jauh dari kesuksesan. O ya, apakah kalimat berikut terdengar akrab, bahkan mungkin sebagian Anda mendengar dari hati dan pikiran Anda sendiri?: “untuk apa saja mencoba lagi, toh kemarin gagal. Ini tidak akan membawa perubahan positif bahkan jika saya mencobanya terus.”
Bisa ditebak, orang dengan tipe ini akan segera menyalahkan nasib, menghujat keadaan, dan oada gilirannya akan menyalahkan Tuhan.
Rupa-rupanya, sikap yang keliru tentang kesalahan, jauh lebih berbahaya dan mamatikan dari pada kesalahan itu sendiri. Namun demikian, pribadi yang progresif dan visioner akan menganggap kesalahan sebagai “hadiah” dari Tuhan yang harus disyukuri, semata demi perbaikan diri dalam irama dan proses menggapai prestasi dan menggamit mimpi-mimpi. Beruntunglah bagi siapa saja yang mengambil pelajaran dari kesalahan, merugilah yang enggan memaknai pahit kehidupan dan kealpaan.
O ya, kelasalan itu sekolah di mana ya, kok pintar sekali, sampai-sampai semua orang harus belajar darinya?
____________
*Penulis juga merupakan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan penulis buku. Buku-buku terbarunya antara lain: Peradaban Sarung, Kondom Gergaji, Nabi Muhammad bukan Orang Arab?, Filsafat Timur, Mari Menjadi Gila, dll.