Juli 26, 2024
Opini

Pilih Mana, Jurnalis atau Kreator Konten?

Ratusan Konten Kreator menghadiri acara Helophoria di M Bloc Space, Jakarta, Sabtu (7/1/2023). Acara bertujuan untuk memberikan edukasi tentang membuat konten yang baik dan benar. (FOTO: Republika/Putra M. Akbar)

Probuana.com – Pada akhir tahun 2022, tepatnya pada pertengahan Desember, mendapat kesempatan menjadi moderator pada sebuah acara bertajuk “Dialog Bersama Media 2022 – Sinergi Untuk Sumsel” pesertanya adalah jurnalis atau wartawan dari Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Muara Enim dan Kota Palembang. Nara sumbernya Denny Batubara Ketua Asosiasi Konten Kreator.

Dari dialog yang berlangsung seru, banyak para jurnalis yang punya rasa ingin tahu apa itu kreator konten? Bagaimana cara menjadi kreator konten? Bagaimana menjadi kreator konten dan peluang meraih cuan besar ketimbang menjadi jurnalis atau wartawan seperti sekarang? Banyak peserta beralasan, wartawan menjadi kreator konten (mereka menyebutnya “konten kreator”) tidak ada yang larangan.

Juga ada yang berpendapat, “Jadi kreator konten itu lebih mudah mendapatkan uang dan bisa jumlahnya lebih besar dari pada penghasilan wartawan.” Alasan monetisasi adalah dasar memilih menjadi kreator konten. Juga di luar forum dialog sering mendengar, “Dunia sudah berubah dan terus akan berubah seperti teknologi informasi. Jika tidak mengikuti perubahan akan dilindasi roda zaman perubahan.”

Pendapatan seperti begini, dulu juga kerap terdengar, ketika ada wartawan yang menjalani pekerjaan dan profesinya dengan melangkah patuh pada kode etik jurnalistik sebagai panduan moral dan menjadi landasan idealisme profesi, mereka dicibir oleh yang lain dengan sinis, “Makan itu idealisme!”

Tulisan ini tidak pada posisi untuk membantah atau membenarkan ada yang disampaikan para peserta dialog tersebut. Alasannya, sebagai moderator belum pernah atau tidak pernah jadi kreator konten, sampai sekarang masih tetap seorang wartawan atau jurnalis yang juga bergerak di dunia literasi.

Menekuni profesi sebagai jurnalis atau wartawan itu adalah amanat. Menjalani profesi sebagai wartawan karena bukan yang ahli sebagai kreator konten, walau ada yang berargumentasi, bisa dipelajari. Pilihan untuk menjadi jurnalis atau menjadi kreator konten atau campuran antara keduanya silahkan saja, itu pilihan.

Saat diskusi tentang pilihan ini mengemuka, lantas teringat cerita tentang Roy Citayam yang beken dengan “Citayam Fashion Week.” Ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menawarkan Roy beasiswa untuk pendidikannya, dia menolak menyatakan lebih memilih mengejar mimpinya menjadi kreator konten dibandingkan harus menempuh pendidikan. Menurut dia, menjadi Kreator kontenlebih “menjanjikan” dalam menghasilkan uang.

Apakah mereka yang yakin bahwa kreator konten lebih banyak menghasilkan uang alias cuan, karena membaca pernyataan Roy Citayam? Bersamaan dengan tren “Citayam Fashion Week” pilihan menjadi Kreator kontentengah marak.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, “Dua tahun terakhir (saat pandemi) melanda dunia termasuk Indonesia, masih banyak orang yang merasakaan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Pekerjaan kreator konten dan influencer (pemengaruh) di media sosial terlihat menggiurkan. Sebab, pendapatannya yang tidak kecil. Tapi perlu diketahui juga banyak dari mereka yang tersisih karena mereka hanya mengikuti tren di media sosial.”

Masih menurut Bhima Yudhistira, “Media sosial menawarkan pasar bebas bagi mereka yang mempunyai ide dan kreativitas. Namun, jika tren atau isunya sudah berakhir, maka dengan mudah para pemain kehilangan pasar. Banyaknya kreator konten yang membuat konten yang sama juga akan membuat pasar jenuh. Kalau banyak yang membuat konten yang sama, tentu persaingannya semakin ketat.”

Ketika ramai berita Roy Citayam menolak beasiswa dari Menteri Sandiaga Uno, Sosiolog UNJ (Universitas Negeri Jakarta) Ubedilah Badrun berpendapat, “Ada tiga faktor penyebab Roy memilih menolak tawaran beasiswa yang diberikan Sandiaga Uno. Pertama, perlu dipahami bahwa secara sosiologis melalui proses habituasi, sebagian generasi Z mulai meyakini ijazah tidak penting.”

“Kedua, sebagian generasi Z mulai meyakini gelar tidak menjamin kompetensi seseorang. Gelar bukan segalanya, sarjana tidak menjamin kesiapan bekerja dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Sepertinya Roy termasuk kategori generasi Z yang cukup kritis pada formalisme pendidikan sehingga dia tidak berminat untuk kuliah.”

“Ketiga, kemungkinan Roy adalah bagian dari masyarakat yang terdampak dari kondisi ekonomi buruk. Ini menjadikan Roy ingin bekerja yang cepat menghasilkan uang.”

Apakah wartawan atau jurnalis menjadi kreator konten, sama dalam kategori dari analisa Ubedilah Badrun? Dengan bercermin pada Roy Citayam adalah remaja yang hidup dalam era digital dan membuat ia memahami betul menjadi kreator konten di media sosial akan menghasilkan banyak uang. Wartawan atau jurnalis yang ada sekarang tengah ada dalam ekosistem digital tersebut.

“Roy masuk dalam generasi Z yang di mana no gadget no life. Dia paham sekarang menjadi kreator konten bisa banyak menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Pekerjaan kreator konten diyakininya bisa cepat menghasilkan uang saat ini, bukan beasiswa untuk biaya kuliah,” kata dosen Sosiologi UNJ.

Jurnalis dan Kreator Konten

Membanjirnya media online, banyak pula media online yang membuka lowongan pekerjaan. Tapi lowongan ini bukan menawarkan pekerjaan sebagai wartawan atau jurnalis, melainkan lowongan pekerjaan sebagai kreator konten dengan persyaratan yang berbeda untuk pekerjaan wartawan.

Dalam lingkungan kalangan komunitas pers, seseorang yang berprofesi wartawan atau jurnalis dan menekuni profesinya dengan sepenuh hati, ogah disebut atau menyebut dirinya kreator konten. “Saya wartawan, saya jurnalis saya bukan kreator konten,” katanya.

Jelas ada beda antara wartawan dengan kreator konten. Seperti kata Ketua PWI Jawa Barat (Jabar) Hilman Hidayat. “Ada perbedaan besar antara seorang jurnalis dan kreator konten. Satu hal yang paling membedakan ialah soal tanggung jawab profesi.”

Menurutnya, “Jurnalis punya beban tanggung jawab terhadap masyarakat dalam menyuarakan kebenaran. Sementara itu, kreator konten tidak memikul hal tersebut. Kreator konten itu tidak punya beban sosial. Jurnalis punya beban sosial.”

Hilman Hidayat secara tegas menyatakan, alasan beban sosial seorang jurnalis berbeda dengan kreator konten. “Berita yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya yang berisi hiburan semata. Masyarakat itu tidak hanya butuh tulisan atau konten yang menarik, tapi juga butuh tulisan atau konten yang memberikan kebenaran. Tugas seorang jurnalis untuk menuntun masyarakat di tengah kegelapan.”

Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 1 angka 4 menyebutkan, “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.” Pasal 1 tersebut harus dikaitkan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, dan Pasal 9 ayat (2).

Pasal 1 angka 1 menyebutkan, “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Isi Pasal 1 angka 2: “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Dan Pasal 9 ayat (2) berbunyi, “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.”

Dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan–DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan menyebutkan bahwa wartawan mutlak menguasai keterampilan jurnalistik seperti teknik menulis, teknik mewawancara, dan teknik menyunting.

Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi, analisis, dan penentuan arah pemberitaan serta terampil menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi. Salah satunya, keterampilan peliputan atau 6 M (Mencari, Memperoleh, Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyampaikan informasi).

Jadi dalam UU Pers jelas menyatakan, wartawan atau jurnalis dalam menjalankan tugas atau profesinya memiliki beberapa kriteria, seperti keterampilan menulis, mampu melakukan riset dan investigasi, memahami kaidah jurnalistik atau memiliki pengetahuan standar sebagai wartawan, juga memiliki kemampuan menggunakan teknologi informasi, teknologi audio visual, memahami etika dan mengetahui tentang hukum yang berkaitan dengan tugas dan profesinya.

Ada juga yang mengatakan pekerjaan wartawan atau jurnalis dan kreator konten itu beda-beda tipis. Keduanya sama-sama membuat konten untuk platform media masing-masing. Seperti disampaikan Ketua PWI Jabar, terdapat perbedaan yang sangat jauh antara wartawan atau jurnalis dengan kreator konten. Selain ada UU Pers, wartawan juga memiliki kode etik.

Kreator konten atau content kreator dengan mengutip State of Digital Publishing, adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab pada setiap informasi yang mereka sebarkan di media, khususnya media digital. Kreator konten umumnya mempunyai target penonton atau audiensnya masing-masing.

Ada juga yang mengklaim, kreator konten adalah profesi yang membuat suatu konten, baik berupa tulisan, gambar, video, suara, ataupun gabungan dari dua atau lebih materi. Konten-konten tersebut dibuat untuk media atau platform digital seperti Youtube, Tik Tok, Snack Video, Snapchat, Instagram, WordPress, Blogger dan lain-lain.

Menurut HubSpot, kreator kontenadalah orang yang memproduksi materi atau konten yang mempunyai nilai edukasi ataupun hiburan di dalam kontennya. Pada umumnya, kreator kontenakan menggunakan banyak sekali platform dalam menyebarkan konten yang sudah mereka produksi. Kreator konten dalam hal ini bukanlah seorang seorang selebriti ataupun blogger. Walaupun mereka memang tergolong orang yang mampu menciptakan konten.

Dalam perkembangannya, definisi kreator konten semakin luas. Seseorang bisa disebut kreator konten jika ia mampu memproduksi konten, bahkan jika ia tidak memiliki pengetahuan yang dalam mengenai teknologi. Artinya, kreator konten tidak perlu tahu bagaimana cara edit video, cara membuat brosur, dan sebagainya.

Namun MT Senft dalam “Cangirls: Celebrity dan community in the age of social networks New York,” (2008) menyebutkan, “Untuk menjadi seorang kreator konten itu tidak mudah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu : harus memilih konten yang sesuai dengan passion, yang menghasilkan sebuah karya yang bisa menginspirasi banyak orang.

Kemudian, kreator konten memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, seorang kreator konten dituntut untuk memiliki karya yang original. Seorang kreator konten dituntut untuk selalu update dengan perkembangan tren terkini. Seorang kreator konten dituntut multi-tasking. Mulai dari hard skill dan juga soft skill, seperti belajar menulis wording yang readable, belajar edit video yang menarik, belajar memotret, mengatur feed Instagram, dan masih banyak yang lainnya. Kreator kontenselalu konsisten dalam berkarya.

Namun dalam prakteknya, demi meraup cuan membuatkan konten hanya berorientasi dan mendewakan satu target yaitu “viral.” Dalam KBBI kata “viral” diartikan sesuatu yang bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus.

Contohnya, masih ingat dengan konten live di Tiktok tentang seorang nenek yang melakukan aksi mandi lumpur hingga menggigil kedinginan. Konten ini dibuat semata untuk mendapat “gift” dari penonton yang bisa ditukar dengan uang. Namun banyak yang mengecam konten ini dan menyebut kegiatan itu sebagai mengemis online.

Sebelum konten nenek mandi lumpur muncul, tahun 2021 pakar kajian studi media Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida mengkritisi banyaknya kreator konten yang kerap mengekploitasi kemiskinan seseorang. Konten tersebut biasanya sukses menggaet penonton dan simpati publik serta sering menjadi trending hingga memancing kreator lain untuk membuat yang serupa.

“Jika diproduksi secara terus menerus, konten seperti itu dapat membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Sebab, terjadi alienasi terhadap orang di bawah garis kemiskinan. Kreator konten harus kreatif, tidak mengeksploitasi kemiskinan orang lain,” kata Rachmah Ida guru besar studi media pada Fisip Unair.

Menurut Ida, ketika orang miskin dikomodifikasi, itu tandanya kreator sudah tidak kreatif. “Konten tersebut adalah bentuk dari poverty porn karena fokusnya adalah menunjukan penderitaan kemiskinan. Poverty porn, bisa disebut melanggar etika. Dalam kajian media, itu dapat dikategorikan dalam konteks eksploitasi,” ujarnya.

Kepada kreator konten atau wartawan dan jurnalis yang sekarang tengah bermigrasi menjadi kreator konten berpesan, “Konten yang kreatif seharusnya menciptakan pemberdayaan. Konten sebaiknya dapat menunjukan dampaknya dalam keberlangsungan hidup. Harus memiliki sense of crisis, juga bisa mempunyai tidak hanya simpati namun juga empati. Bagi penikmat media, konten ini juga seharusnya tidak dijadikan orientasi, namun sebagai pembelajaran.”

Namun tetap saja antara wartawan atau jurnalis dengan kreator konten adalah adalah dua profesi berbeda. Karena berbeda, idealnya jurnalis tidak merangkap sebagai kreator konten, apalagi mencampuradukan keduanya.

Mengutip wartawan senior Eddy Koko dalam “Kreator Konten, Etika Jurnalistik dan UU Pers” (9 Februari 2022), “Banyak kreator konten mengejar kecepatan dan clickbait sehingga sering mengorbankan akurasi dan kualitas demi meraih peghasilan iklan daring. Semakin konten yang dipublikasikan mendapat banyak klik dari pembaca atau penonton maka pemasukan uang juga semakin besar.”

Menurut wartawan senior yang menjadi wartawan cetak dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Radio Trijaya, “Sebagai gambaran, jika wartawan mendapat gaji tetap Rp10 juta dalam sebulan dari perusahaan medianya sedangkan kreator konten bisa mendapatkan Rp40 juta lebih dari hasil clickbait. Namun bisa juga kreator konten hanya mendapat Rp1.000 jika konten buatannya sedikit yang mengklik.”

“Meskipun karya kreator konten dan wartawan sama-sama dipublikasikan di media namun tidak otomatis disebut sebagai produk pers. Sebuah berita dikatakan sebagai produk pers jika diterbitkan oleh media massa berbadan hukum. Ketika berita menimbulkan sengketa pemberitaan akan diselesaikan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 Pers melalui Dewan Pers,” tulis Eddy Koko.

Untuk karya konten kreator yang diunggah ke media sosial (medsos) karena tidak ada aturan khusus, jika isinya menimbulkan sengketa penyelesaiannya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bisa juga terjerat oleh UU Hak Cipta jika konten tersebut mencomot atau plagiat karya orang lain. (maspril aries)

Follow Me:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *