Juli 25, 2024
Humaniora

Simak Tata Cara Shalat Ghaib: Niat, Syarat, dan Rukunnya

Ilustrasi Shalat. (FOTO: Sindonews.com)

Bandung, Probuana.com – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat KH Rahcmat Syafe’i mengeluarkan seruan untuk melaksanakan Shalat Ghaib bagi Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril, putra sulung Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang belum juga ditemukan sejak hilang di sungai Aare pada Kamis (26/05/2022) pekan lalu.

Seruan resmi itu, merupakan tindak lanjut dari pertemuan yang digelar secara virtual antara pihak keluarga Ridwan Kamil dan jajaran pengurus MUI Jabar yang digelar pada Kamis Malam (02/06/2022). Berdasarkan pengakuan pihak keluarga, Kang Emil dan seluruh keluarga besar sudah mengikhlaskan Eril putra sulungnya tersebut.

“Maka dengan memperhatikan ketentuan syara’, jenazah harus segera disholatkan,” kata Ketua MUI Jabar KH Rachmat Syafe’i dalam keterangan tertulis yang diterima pada Kamis malam (02/06/2022).

Simak Tata Cara Shalat Ghaib: Niat, Syarat, dan Rukunnya

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, diilansir dari website nu.or.id, shalat ghaib mengingatkan kisah kematian Raja Najasyi, Ashhamah bin Abjar, sang penguasa negeri Habasyah (sekarang Etiopia). Ia wafat pada Rajab 9 Hijriyah. Kewafatan Raja Najasyi memiliki nilai tersendiri bagi sejarah dan hukum Islam. Karena dari sanalah kemudian muncul syariat untuk melakukan shalat Ghaib, shalat atas jenazah yang tidak ada di tempat.

Niat Shalat Ghaib

Shalat Ghaib memiliki hukum yang sama dengan shalat jenazah yang ada di tempat, yakni fardhu kifâyah. Artinya, shalat Ghaib cukup untuk menggugurkan kewajiban shalat jenazah, dengan catatan diketahui secara nyata bahwa ada orang yang telah melakukannya. Untuk niatnya, dapat diklasifikasi tergantung jenis kelamin, jumlah jenazah dan status mushalli-nya apakah menjadi imam, makmum, atau shalat sendiri.

Bila jenazahnya laki-laki maka lafal niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي عَلَى مَيِّتِ (فُلَانِ) الْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”

Bila jenazahnya perempuan, maka lafal niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَةِ (فُلَانَةٍ) الْغَائِبَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”

Bila jenazahnya adalah dua laki-laki/satu laki-laki dan satu perempuan/dua perempuan, maka lafal niatnya sebagai berikut:

أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَيْنِ/مَيِّتَتَيْنِ (فُلَانٍ وَفُلَانٍ-فُلَانٍ وَفُلَانَةٍ/فُلَانَةٍ وَفُلَانَةٍ) الْغَائِبَيْنِ/الْغَائِبَتَيْنِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Saya menyalati dua jenazah ‘Si Fulan dan Si Fulan/Si Fulan dan Si Fulanah/Si Fulanah dan Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”

Bila jenazahnya banyak, misalnya korban bencana alam yang menimpa satu desa, maka lafal niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي عَلَى جَمِيعِ مَوْتَى قَرْيَةِ كَذَا الْغَائِبِينَ الْمُسْلِمِينَ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Saya menyalati seluruh umat muslim yang jadi korban di desa ‘…’ (sebutkan nama desanya) yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”

Syarat Sah Shalat Ghaib

Syarat sah shalat Ghaib selain syarat-syarat pada umumnya, setidaknya terangkum dalam dua hal berikut:

Pertama, jenazah berada di luar daerah yang jauh dari jangkauan, atau di tempat yang dekat namun sulit dijangkau. Karena itu, jika masih berada dalam daerah, walaupun jauh dan tak sulit dijangkau, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib. Demikian pula kalau jenazahnya berada di batas daerah, dan kita dekat dengan tempat tersebut, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib.

Kedua, telah mengetahui atau menduga kuat bahwa jenazahnya sudah dimandikan. Kalau tidak, maka shalat Ghaibnya tidak sah. Namun, bila ia menggantungkan shalat Ghaibnya dengan sucinya jenazah tersebut (bahwa telah dimandikan), shalatnya dihukumi sah. Misalnya, dalam niat ia mengatakan, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan’… dan seterusnya, dengan catatan di sudah suci atau sudah dimandikan …” maka shalatnya juga sah.

Rukun Shalat Ghaib

Rukun shalat Ghaib tak ada bedanya dengan rukun shalat jenazah pada umumnya. Sebab yang membedakan keduanya hanyalah soal ada dan tidak ada jenazah di hadapannya. Berikut ini tujuh rukun shalat Ghaib yang harus dilakukan:

Pertama, berniat, seperti umumnya shalat yang lain dengan pilihan redaksi di atas.

Kedua, berdiri bagi yang mampu, dan bila tak mampu, boleh shalat dengan cara yang dimampuinya.

Ketiga, membaca empat takbir termasuk takbiratul ihram. Bila lebih dari empat, baik sengaja maupun tidak, shalatnya tetap sah. Terpenting ia tak meyakini bahwa menambah bacaan takbir itu membatalkan, atau dalam pengulangan bacaan takbir ia tak mengangkat tangannya sebagaimana empat takbir sebelumnya. Jadi, jika diyakini membatalkan, atau seiring menambah bacaan takbir juga mengangkat tangan, maka shalatnya batal.

Keempat, membaca surat al-Fatihah, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Amarana Rasûlullâhi shalallâhu ‘alaihi wasallam an naqra‘a bi fâtihatil kitâb ‘alâ janâzah” (Rasulullah saw memerintahkan kami membaca surah al-Fatihah saat shalat jenazah). (HR Ibnu Majah).

Kelima, membaca shalawat kepada Nabi saw setelah takbir kedua. Minimal dengan membaca, Allahummâ shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad. Namun yang paling sempurna adalah membaca shalawat Ibrahimiyah yang biasa dibaca saat tasyahud akhir dalam shalat.

Keenam, membaca doa untuk jenazah setelah rakaat ketiga. Berikut doa Rasulullah saw yang diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik ra:

اللهم اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

Artinya, “Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah ia, maafkanlah dan berilah ia keafiatan (nasib ukhrawi yang baik), muliakanlah tempatnya, lapangkanlah jalurnya, basuhlah ia dengan air surgawi yang sejuk nan segar, bersihkanlah ia dari noda-noda kesalahan laiknya baju putih yang kembali mengkilap setelah dibersihkan dari kotoran dan noda, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih indah, keluarga dan pasangan yang lebih baik, lindungilah ia dari fitnah kubur dan siksa neraka.”

Ketujuh, membaca salam setelah takbir keempat. Namun, setelah takbir dan sebelum salam, disunnahkan membaca doa berikut: “Allâhumma lâ tahrimnâ ajrohû walâ taftinnâ ba’dahû wagfir lana walahû” (Ya Allah, janganlah engkau jadikan kami penghalang pahalanya, dan janganlah biarkan kami dalam ajang fitnah, umpatan atau buah bibir setelah ini semua, dan ampunilah kami dan dia.

Follow Me:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *