Hakim Tawarkan Habib Rizieq Minta Pengampunan Presiden, Begini Aturannya
Habib Rizieq Syihab dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penyebaran berita bohong terkait kasus swab test di RS Ummi Bogor. (Foto : SINDOnews)
Oleh : Diding Jalaludin (Praktisi)
Probuana.com – Berbicara tentang Habib Rizieq memang tidak ada habisnya. Benar kata Majelis Hakim, Habib Rizieq adalah tokoh agama yang banyak pengikut dan simpatisan. Saking berpengaruhnya, perkataannya pun dapat membuat kegaduhan dan keonaran di dunia nyata maupun dunia maya.
Mantan Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu, baru saja dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penyebaran berita bohong terkait kasus swab test di RS Ummi Bogor. Vonis tersebut, dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur dalam sidang yang digelar pada Kamis (24/6) kemarin.
Hakim berkeyakinan, Habib Rizieq bersalah turut serta menyebarkan berita bohong dengan sengaja hingga mengakibatkan keonaran di tengah masyarakat. Ia terbukti melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang berbunyi “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun”.
Pasal 14 ayat (1) tersebut juga di-juncto-kan oleh Penuntut Umum ke Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana ; (1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan,”
Kasus ini juga menyeret menantu Habib Rizieq, Habib Hanif Alatas dan Direktur Utama RS Ummi Bogor dr. Andi Tatat. Keduanya divonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai oleh Khadwanto itu.
Terlepas dari pertimbangan hukum dan vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa. Saya tertarik mengulas aturan hukum mengenai permohonan pengampunan atas vonis hakim. Karena setelah selesai menjatuhkan vonis, hakim memberikan opsi kepada Habib Rizieq untuk meminta pengampunan kepada Presiden Joko Widodo.
Pernyataan hakim itu juga menyulut reaksi dari masyarakat yang pro terhadap terdakwa. Di media sosial, bermunculan poster yang menanyakan apa kesalahan Habib Rizieq hingga harus meminta pengampunan Jokowi.
Padahal pernyataan hakim setelah menjatuhkan vonis itu, lazim terjadi pada sidang perkara pidana. Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberikan kewajiban kepada majelis hakim untuk menyampaikan kepada seorang terdakwa mengenai hak-haknya setelah dijatuhi vonis. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 196 ayat (3) KUHAP.
Terdapat 5 hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada terdakwa dalam menyikapi putusan sidang. Kelima hak tersebut di antaranya adalah hak secara langsung menyatakan menerima atau menolak putusan.
Kedua, hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan. Hak untuk mempelajari ini diberikan selama tidak melebihi tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Ketiga dalam hal terdakwa menolak putusan, ia diberikan hak untuk meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang (mengajukan banding).
Keempat, Terdakwa mempunyai hak untuk mencabut pernyataan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Dan yang terakhir yang lagi ramai diperbincangkan adalah hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, jika terdakwa menerima putusan yang dijatuhkan kepadanya.
Pengampunan Presiden atau Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pengajuan grasi tersebut dapat diajukan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde).
Ketentuan lebih lanjut mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Nomor 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. UU ini merupakan turunan dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, dimana Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Artinya, pernyataan hakim itu bukan semata-mata opsi hakim bagi Habib Rizieq. Tapi hak seorang terdakwa siapapun orangnya, tidak terbatas pada Habib Rizieq, hakim mempunyai kewajiban untuk menyampikan ketentuan Pasal 196 ayat (3) KUHAP itu. Jika tidak disampaikan, maka hakim telah melanggar ketentuan yang diwajibkan kepadanya.